Blora Updates - Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari
Abdullah bin Amr berkata,”Rasulullah saw telah melaknat orang yang
memberi dan menerima suap.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Ibnul Arabi mengatakan bahwa suap adalah setiap harta yang diberikan
kepada seseorang yang memiliki kedudukan untuk membantu atau meluluskan
persoalan yang tidak halal. Al murtasyi sebutan untuk orang yang
menerima suap, ar rasyi sebutan untuk orang yang memberikan suap
sedangkan ar ra’isy adalah perantaranya. (Fathul Bari juz V hal 246)
Al Qori mengatakan ar rasyi dan al murtasyi adalah orang yang memberi
dan menerima suap, ia merupakan sarana untuk mencapai tujuan dengan
bujukan (rayuan). Ada yang mengatakan bahwa suap adalah segala pemberian
untuk membatalkan hak seseorang atau memberikan hak kepada orang yang
salah. (Aunul Ma’bud juz IX hal 357)
Suap adalah pemberian seseorang yang tidak memiliki hak kepada seseorang
yang memiliki kewenangan (jabatan), baik berupa uang, barang atau
lainnya untuk membantu si pemberi mendapatkan sesuatu yang bukan haknya
atau menzhalimi hak orang lainnya, seperti pemberian hadiah yang
dilakukan seseorang agar dirinya diterima sebagai pegawai di suatu
perusahaan / instansi, agar anaknya diterima di suatu sekolah favorit /
perguruan tinggi, pemberian kepada seorang guru agar anaknya naik kelas,
pemberian hadiah kepada seorang hakim agar dia terbebaskan dari hukuman
dan lainnya, walaupun fakta yang ada sebenarnya mereka semua tidak
berhak atau tidak memiliki persyaratan untuk mendapatkan apa yang mereka
inginkan dari pemberiannya tersebut.
Al Hafizh menyebutkan suatu riawayat dari Farrat bin Muslim, dia
berkata,”Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz meninginginkan buah apel dan
ia tidak mandapati sesuatu pun dirumahnya yang bisa digunakan untuk
membelinya maka kami pun menungang kuda bersamanya. Kemudian dia
disambut oleh para biarawan dengan piring-piring yang berisi apel. Umar
bin Abdul Aziz mengambil salah satu apel dan menciumnya namun
mengembalikannya ke piring tersebut. Aku pun bertanya kepadanya tentang
hal itu. Maka dia berkata,”Aku tidak membutuhkannya.” Aku
bertanya,”Bukankah Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar menerima hadiah?”
dia menjawab,”Sesungguhnya ia bagi mereka semua adalah hadiah sedangkan
bagi para pejabat setelah mereka adalah suap.” (Fathul Bari juz V hal
245 – 246)
Suap merupakan dosa besar sehingga Allah swt mengancam para pelakunya,
baik yang memberikan maupun yang menerimanya dengan laknat atau
dijauhkan dari rahmat-Nya bahkan , sebagaimana diriwayatkan oleh An
Nasai dari Masruq berkata,”Apabila seorang hakim makan dari hadiah maka
sesungguhnya dia telah memakan uang sogokan. Apabila dia menerima suap
maka ia telah menghantarkannya kepada kekufuran.” Masruq mengatakan
barangsiapa yang meminum khamr maka sungguh ia telah kufur dan
kekufurannya adalah tidak diterima shalatnya selama 40 hari. Namun
apabila pemberian hadiah terpaksa dilakukan oleh seseorang kepada
pejabat yang berwenang dalam permasalhannya untuk mendapatkan haknya
atau menghilangkan kezhaliman atas dirinya maka hal ini dibolehkan bagi
si pemberi dan diharamkan bagi si penerima.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama telah
mengatakan,”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri—orang yang
diberikan tanggung jawab atas suatu urusan—untuk melakukan sesuatu yang
tidak diperbolehkan atasnya adalah haram, baik bagi yang memberikan
maupun menerima hadiah itu, dan ini adalah suap yang dilarang Nabi saw.
Adapun apabila orang itu memberikan hadiah kepadanya untuk menghentikan
kezaliman terhadapnya atau untuk mendapatkan haknya maka hadiah ini
haram bagi si penerima dan boleh bagi si pemberinya, sebagaimana sabda
Nabi saw,”Sesungguhnya aku memberikan suatu pemberian kepada salah
seorang dari mereka maka dia akan keluar dengan mengepit (diantara
ketiaknya) api neraka. Beliau saw ditanya,”Wahai Rasulullah saw mengapa
engkau memberikan kepada mereka? Beliau saw menjawab,”Mereka enggan
kecuali dengan cara meminta kepadaku dan Allah tidak menginginkan kau
berlaku pelit.” (Majmu’ Fatawa juz XXXI hal 161)
Perlakuan Terhadap Penghasilan dari Suap
Dikarenakan suap menyuap (sogok) adalah prilaku yang diharamkan maka
penghasilan yang didapat pun bisa dikategorikan sebagai penghasilan yang
haram. Didalam suap ini selain melanggar rambu-rambu Allah swt dalam
mencari penghasilan, ia juga mengandung kezhaliman yang nyata terhadap
orang-orang yang memiliki hak.
Ùˆَلاَ تَØ£ْÙƒُÙ„ُواْ Ø£َÙ…ْÙˆَالَÙƒُÙ… بَÙŠْÙ†َÙƒُÙ… بِالْبَاطِÙ„ِ
Artinya ; “dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” (QS. Al Baqoroh : 188)
Imam al Qurthubi mengatakan,”Makna ayat ini adalah janganlah sebagian
kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak
benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang
lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia
telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan
cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu
sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram
tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (al Jami’ Li
Ahkamil Qur’an juz II hal 711)
Untuk itu bagi seorang muslim hendaklah mencari nafkah dengan cara-cara
yang dibenarkan syariat sehingga setiap rupiah yang didapatnya
mendapatkan berkah dari Allah swt.
Keberkahan seseorang tidaklah ditentukan dari banyak atau sedikitnya
harta yang dimilikinya namun dari halal atau tidaknya harta tersebut.
Seberapa pun harta yang dimiliki seseorang ketika memang itu semua
didapat dengan cara-cara yang halal dan dibenarkan syariat maka didalam
harta itu terdapat keberkahan dari Allah swt. (eramuslim)
0 Komentar