‘Gaya Kreasi Baru’ Ki Hartanto, Mewarnai ‘Gas Deso’ di Sumurboto

Ki Hartanto menancapkan wayang gunungan, tanda telah usainya pagelaran 'Gaya Kreasi Baru' yang telah mewarnai acara 'gas deso' di Sumurboto (08/04) pukul 03:11 dini hari  [Doc. L17'UN]
[Blora Updates] BLORA - Penampilan Ki Hartanto Sabtu (07/04) kemarin, mewarnai acara ‘gas deso’ di Sumurboto. Pagelaran wayang kulit yang dimulai pukul 22.00 itu berhasil menyita perhatian banyak penonton. Alunan musik gamelan dari pengrawit, menandakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dimulai. Dengan ‘gaya kreasi baru’nya Ki Hartanto memainkan wayang kulit. Sontak para penonton diam dan memperhatikan kepiawaiannya dalam memerankan wayang kulit yang digelar di halaman rumah kepala desa setempat.

Tepat pukul 23.30 Ki Hartanto memulai sesi limbukan, yang ditandai dengan keluarnya Cangik dan Limbuk. Keempat pesindhen Ki Hartanto membawakan lagu–lagu yang klasik, namun telah diaransemen oleh Ki Hartanto dan tim pengrawit sehingga menimbulkan kesan modern seperti musik masa kini. Masing–masing pesindhen menembangkan lagu dengan berdiri.

Lemah gemulai tarian pesindhen dan suara merdu darinya serta diiringi gamelan menambah makin meriahnya acara sedekah bumi. Tak sedikit penonton ikut berjoget di sela antara panggung pengrawit dan penonton. Tidak hanya itu saja, banyak penonton yang duduk di tempat yang disediakan ikut berjoget tipis–tipis dengan menggeleng dan menganggukkan kepala mereka serta bertepuk seirama dengan musik gamelan.

Seusai sesi limbukan, dalang yang berasal dari Kelurahan Beran tersebut melanjutkan lakon yang ia bawakan. Dalam melanjutkan lakon, dalang tersebut dapat dikatakan melenceng dari pementasan wayang kulit yang sebenarnya. Sebab dalam memainkan tokoh wayang, ia menambahkan gaya khasnya yakni dengan banyolan–banyolan yang mengundang tawa para penonton yang hadir. Tidak sedikit dari mereka tertawa dengan keras, bahkan berteriak menirukan banyolan yang dilontarkan oleh Ki Hartanto.

Tidak hanya itu saja, gaya perang wayang beserta iringan musik yang mengiringinya pun telah ia ubah dengan gaya khasnya. Seusai klimaks dari lakon yang ia bawakan, telah memasuki sesi goro–goro yang ditandai dengan keluarnya Petruk. Dengan keluarnya Petruk, dapat membuat mata mengantuk menjadi gemuyu, karena tingkah laku para Punakawan yang mengundang tawa penonton dan lagu yang mereka nyanyikan juga dapat mengundang penonton untuk berjoget.

Selama kurang lebih lima puluh menit, anggota Punakawan menghibur penonton dan penggemar setia wayang kulit. Lalu dilanjutkan lakon kembali dan selesai pada pukul 03.11 dini hari yang ditandai dengan penancapan wayang gunungan yang oleh Ki Hartanto dan suwukan dari pengiringnya. Suwukan itu sendiri merupakan tanda berakhirnya musik gamelan jawa.

Perlu diketahui, ‘Gaya Kreasi Baru’ dalam pagelaran wayang kulit merupakan gaya pakeliran yang diciptakan oleh dalang legendaris nan senior yakni Ki Manteb Soedaharsono (70) kisaran tahun 2000-an. Salah satu tujuan utama menciptakan ide tersebut adalah untuk memikat hati kalangan anak muda agar mau menyaksikan pagelaran wayang kulit, sehingga tidak mengalami kepunahan. Jadi ‘Gaya Kreasi Baru’ ini amat cocok untuk ‘anak muda jaman now’.

Perlu diketahui juga, gas deso atau sedekah bumi merupakan acara tahunan yang diadakan di sebagian besar desa/kelurahan yang ada di Kabupaten Blora–Jawa Tengah, di bulan Selo (tepat satu bulan sebelum akhir tahun) atau setelah panen raya di desa setempat. Untuk memperingati acara tersebut, hari yang digunakan sudah turun–temurun dari tahun ke tahun bahkan dari abad ke abad. Dan acara gas deso di Sumurboto, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora itu sendiri jatuh pada hari Sabtu Pahing.


Kontributor

LAKNA 17 ‘UN

Posting Komentar

0 Komentar