Sesi Limbukan oleh Ki Sigid Ariyanto dengan berdakwah dan memberikan siraman rohani di salah satu pondok pesantren di Ngawen, Blora, Sabtu (12/05) kemarin. [ISTIMEWA] |
BLORA – Dalang Sigid kembali membuat gebrakan di jagad pewayangan yang kesekian kalinya. Sabtu (12/05) saat pentas di salah satu pondok pesantran yang ada di Kec. Ngawen, Blora kemarin buktinya. Ia mengubah total gaya pakeliran pada umumnya, yang biasanya bercerita tentang mahabarata ataupun lainnya.
Para pesindhen mengubah cara berpakaiannya, dengan menggunakan hijab sehingga tampak lebih khusu' dalam menjalankan tugasnya. [ISTIMEWA] |
Pentas pada malam Minggu kemarin, dalang lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) ini memanfaatkan wayang kulit sebagai media dakwah. Dalam penampilannya, ia dan timnya menambahkan nuansa religi, baik secara penampilan fisik yakni mengubah pakaian pesindhen dengan mengenakan jilbab, maupun musik yang mengiringinya selama ia berpentas. Musiknya diracik dengan musik bernuansa terbangan seperti dalam hadroh yang identik dengan musik Islami.
Tidak hanya itu saja, lakon yang ia bawakan juga sangat mencerminkan Islam yakni ‘Pandhawa Munggah Kaji’. Tepat pukul 22.38, dalang kelahiran Blora ini memulai sesi Limbukan, yang ditandai dengan keluarnya tokoh Cangik dan disusul dengan Limbuk yang diiringi dengan lagu Pangpung karya Ki Narto Sabdo oleh kelima pesindhen dengan cara berdiri.
Semua gendhing yang dibawakankan dalam sesi tersebut merupakan gendhing Jawa yang diciptakan oleh tokoh terkenal, dalam gendhing–gendhing tersebut berfilosofi tinggi mengenai Agama Islam. Salah duanya yakni lagu Syi’ir Tanpo Waton karya Gus Dur dan langgam Kacang Ijo karya Ki Enthus Susmono. Setiap lagu tersebut dibedah bait demi bait dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh penonton yang hadir menyaksikan.
Dalam sesi tersebut, Dalang Sigid juga bercerita banyak mengenai masuknya Islam di tanah Jawa yang tidak lepas dari wayang kulit.
Kurang lebih sembilan puluh menit, Cangik dan Limbuk menghibur penonton. Pukul 00.07 dini hari, ia melanjutkan lakon kembali atau dengan sebutan perang gagal. Dalam sesi tersebut, ia memainkan wayang dengan sangat lincah, yakni dengan memerangkan wayang, memutarkan wayang secara bersamaan seirama dengan musik yang mengiringinya. Tidak sedikit penonton yang hadir dibuatnya melongo, sebab terhipnotis dengan kelihaian Dalang Sigid dalam memainkan wayang.
Tepat pukul 01.10 dini hari, Dalang Sigid memulai goro–goro dengan mengeluarkan tokoh Petruk dan disusul dengan Gareng dan Bagong. Rasa kantuk penonton hilang seketika, saat ketiga anggota Punakawan bertingkah laku lugu dan mengeluarkan banyolan–banyolan khas mereka.
Melalui tokoh Petruk, Dalang Sigid juga memberikan siraman rohani dengan pitutur luhur seputar pengetahuan agama. Selain itu, Dalang Sigid juga menghubungkan gendhing–gendhing yang dinyanyikan oleh para pesindhen dengan ayat–ayat dalam Al Quran. Sehingga makin menambah suasana dakwah pada malam itu. Setelah sesi tersebut, Dalang Sigid melanjutkan lakon sampai selesai.
Kontributor
LAKNA 17 ’UN
0 Komentar